Tulisan ini tak hendak berpolemik tentang kontroversi
hukum seputar poligami, apalagi berwacana liberal. Tulisan ini sekedar mengajak pembaca, khususnya para lelaki, agar memahami permasalahan ini
dari sudut pandang realitas, secara sepesifik dari sudut pandang psikologi dan
perasaan wanita; bagaimana perasaan mereka tatkala pasangan terkasihnya membagi
cinta? Bayangkan, anda seorang wanita yang memiliki perasaan peka, yang cinta
tulus penuhnya terbalas separuh, sepertiga, bahkan seperempatnya, karena harus
berbagi dengan seorang madu, atau dua bahkan tiga orang madu lainnya.
Tetapi sebentar…, tulisan ini pun juga bukan
semata refleksi pembelaan kaum hawa tanpa dasar. Santri dengan segudang
referensi kitab kuning tak selayaknya berwacana bebas, apalagi liar. Karenanya,
kepentingan perasaan kaum hawa ini harus ada cantholan-nya dari
literatur fuqaha’ yang terpercaya. Dan, memang inilah yang menjadi
tuntutan dari kaum intelektual sarungan ini; peka terhadap realitas umat tanpa
tercerabut dari kode etik ilmiahnya.
"Saya punya syarat yang syarat ini menjadi bagian dari sahnya akad
nikah… " Kata Anna di majelis musyawarah itu. "Apa itu
syaratnya?" Tanya Furqan. " … saya mau dinikah dengan syarat selama
saya hidup dan saya masih bisa menunaikan kewajiban saya sebagai isteri, Mas
Furqan tidak boleh menikah dengan perempuan lain!" dengan tegas Anna
menjelaskan syarat yang diinginkannya. "Apa syarat-syarat itu tidak
mengada-ada?" Kata Pak Andi Hasan, ayah Furqan. "Tidak. Sama sekali
tidak. Para ulama sudah membahasnya panjang lebar. Dan syarat yang saya ajukan
ini sah dan boleh." Jawab Anna. "Maaf saya belum pernah membaca ada
ulama membolehkan syarat seperti itu." Tukas Furqan… Gadis itu masuk ke kamarnya dan mengambil
sebuah kitab. Pada halaman yang ditandainya ia membukanya dan langsung
menyodorkannya pada Furqan, "Ini juz 7 dari kitab Al Mughni karya Ibnu Qudamah,
silakan baca di halaman 93!" Furqan menerima kitab itu lalu membaca pada
bagian yang diberi garis tipis dengan pensil oleh Anna. Saat membaca kening
Furqan berkerut. Ia lalu mendesah. Ia diam sesaat. Wajahnya agak bingung.
Mari kita kaji,
bahwa ternyata dalam Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, dan literaur fiqh Madzhab
Hanbali yang lain, permasalahan seputar ini telah dibahas. Konteks pembahasan
dalam masalah ini adalah tentang keberadaan syarat atau perjanjian dalam akad
nikah. Seberapa berpengaruhkah perjanjian dalam akad nikah terhadap keabsahan
nikah, dan seberapa diperhitungkannya perjanjian itu untuk ditepati. Ini
bermula dari sebuah hadis shahih muttafaq alaih, bahwa Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda;
إنَّ أَحَقَّ الشُّرُوطِ أَنْ يُوَفَّى بِهِ مَا
اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ
﴿متفق عليه﴾
Artinya: “Sesungguhnya
perjanjian yang paling berhak untuk ditepati adalah perjanjian yang dengannya
kalian menghalalkan kemaluan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kalangan
Syafi’iyyah mengarahkan hadis ini dalam masalah perjanjian-perjanjian yang
tidak bertentangan dengan prinsip akad nikah. Sedangkan perjanjian untuk
menikah lagi selama istri pertama masih hidup, meniadakan hak seorang lelaki
untuk melakukan nikah hingga maksimal empat orang istri, yang mana hal ini
adalah legal secara syara’. Dengan adanya perjanjian bahwa mempelai pria tidak
boleh menikah lagi, tentunya aka nada unsur mengharamkan sesuatu yang halal.
Padahal dalam sebuah hadis, Rasul bersabda;
الْمُسْلِمُونَ
عَلَى شُرُوطِهِمْ إلَّا شَرْطًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا
﴿رواه البيهقي﴾
Artinya: “Kaum muslimin
harus memenuhi perjanjian diantara mereka, kecuali perjanjian yang mengharamkan
sesuatu yang halal.”
(HR. Baihaqi)
Sedangkan kalangan Hanabilah memandang, bahwa dalam
perjanjian ini, ada kepentingan pihak mempelai wanita agar tidak dimadu, karena
dengan demikian akan “merugikan” dirinya, karena cinta dan perhatian suami akan
terbagi. Hal ini mirip dengan pensyaratan pihak mempelai wanita untuk menaikkan
nominal atau kadar mahar. Karenanya, perjanjian semacam ini mengikat pihak
suami, dan wajib untuk dipenuhi. Jika tidak, yakni jika suatu saat sang suami
menikah lagi atau berpoligami, maka istri punya hak faskh, yakni mengajukan
gugatan cerai pada pengadilan.
Demikianlah jika
dalam akad nikah disebutkan secara eksplisit perjanjian tersebut. Nah,
bagaimana jika tidak ada perjanjian secara jelas ketika akad nikah? Sejumlah
ulama’ Hanabilah mewacanakan sebuah kaidah fiqh yang cukup populer, yang masih
menjadi bahan kontroversi di kalangan ulama’, yakni,
الْعَادَةُ المُطَّرِدَةُ فِي
نَاحِيَةِ الْبَلَدِ هَلْ تُنَزَّلُ مَنْزِلَةَ الشَّرْطِ ؟
Artinya : “Tradisi yang
berlaku kontinyu di suatu daerah, apakah diposisikan sama dengan pensyaratan?”
Dari kalangan Syafi’iyyah, Al-Qaffal adalah ulama’ yang
populer dengan jawaban, “ya”; bahwa tradisi yang berlaku sama halnya dengan
pensyaratan eksplisit (lafzhî). Sedangkan mayoritas Syafi’iyyah
menyatakan “tidak”; tradisi yang berlaku
tidak bisa disetarakan dengan pensyaratan secara eksplisit.
Berpijak pada penalaran seperti Al-Qaffâl, Kalangan
Hanabilah mengkaitkan kaidah ini dengan permasalahan pensyaratan dalam akad
nikah. Secara spesifik, Kasysyâf al-Qinâ’ mengutip perkataan Ibnul
Qayyim, “Seandainya seseorang menikah dengan seorang wanita dari sekelompok
kaum yang di kalangan mereka tidak berlaku tradisi memadu istri (baca :
poligami), maka tradisi ini sama halnya dengan pensyaratan untuk tidak memadu
istri”.
Sehingga jika dalam sebuah komunitas masyarakat, kaum
wanitanya tidak biasa dipoligami, maka jika suatu saat sang suami menikah lagi
dan memadukan istri pertamanya, maka istri lama berhak mengajukan fasakh
(gugatan cerai). Coba kita tengok, adakah tradisi poligami berlaku di kalangan
kita? Bagaimanakah tradisi wanita-wanita di Indonesia? Maukah mereka dimadu
oleh suaminya? Anda sudah tahu sendiri, bahwa jawabannya adalah “tidak”.
Meski berangkat dari pola pendekatan Hanabilah, ketentuan
pernikahan di Indonesia yang berasas satu istri, telah menjadi ketetapan
pemerintah. Dalam kaidah lain, dijelaskan bahwa “Hukmul imâm yarfa’ul
khilâf”, kebijakan pemerintah menghapuskan kontroversi pendapat. Artinya,
ketentuan inilah yang harus dipatuhi. Nah, bisa diambil kesimpulan, bahwa
seorang suami tidak boleh memadu istrinya, alias haram
berpoligami, kecuali jika istri pertama telah memberikan izin yang jelas.
Cantholan hukum lainnya yang menginspirasi kesimpulan ini, sebenarnya masih banyak.
Diantaranya adalah bahwa secara umum, dalam berumah tangga, suami harus
memperlakukan istri dengan sebaik-baiknya, mu’asyarah bil ma’rûf,
sebagaimana diamanatkan dalam Al-Qur’an. Salah satu perwujudan mu’asyarah bil
ma’ruf adalah jangan menyakiti pasangan, dengan menikah lagi atau memadukannya,
alias berpoligami. Cukuplah kisah Sayyidah Fathimah puteri Rasulullah berikut
menjadi inspirasi para suami. Diriwayatkan bahwa suatu ketika Sayyidina Ali bin
Abi Thalib, suami dari Sayyidah Fathimah, hendak melamar puteri Abu Jahal.
Mendengar berita itu, Sayyidah Fathimah mengadu pada Rasulullah, ayahnya.
Bagaimana reaksi Rasulullah shallallâhu alaihi wa sallam ? Beliau
bersabda, “Fathimah adalah darah dagingku, barangsiapa menyakiti dia, sama
halnya menyakitiku”. Ya… istri mana yang tak sakit hatinya, jika sang suami
ternyata juga mencintai wanita lain dan menikah lagi? Hmmm…. Camkanlah wahai
para lelaki…. !!!
Referensi:
1. Ali bin Sulaiman Al-Mardawi,
Al-Inshâf fî Ma’rifah al-Khilâf ‘alâ Madzhab al-Imâm Ahmad bin Hanbal, Beirut :
Dâr Ihyâ’ Turats al-‘Arabi, 1419 H.
2. Manshur bin Yunus al-Bahûti,
Kasysyâf al-Qinâ’, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.
3. Al-Fawâid
al-Janiyyah