Minggu, 04 November 2012

POLIGAMI HARAM........??


Tulisan ini tak hendak berpolemik tentang kontroversi hukum seputar poligami, apalagi berwacana liberal. Tulisan ini sekedar mengajak pembaca, khususnya para lelaki, agar memahami permasalahan ini dari sudut pandang realitas, secara sepesifik dari sudut pandang psikologi dan perasaan wanita; bagaimana perasaan mereka tatkala pasangan terkasihnya membagi cinta? Bayangkan, anda seorang wanita yang memiliki perasaan peka, yang cinta tulus penuhnya terbalas separuh, sepertiga, bahkan seperempatnya, karena harus berbagi dengan seorang madu, atau dua bahkan tiga orang madu lainnya.
Tetapi sebentar…, tulisan ini pun juga bukan semata refleksi pembelaan kaum hawa tanpa dasar. Santri dengan segudang referensi kitab kuning tak selayaknya berwacana bebas, apalagi liar. Karenanya, kepentingan perasaan kaum hawa ini harus ada cantholan-nya dari literatur fuqaha’ yang terpercaya. Dan, memang inilah yang menjadi tuntutan dari kaum intelektual sarungan ini; peka terhadap realitas umat tanpa tercerabut dari kode etik ilmiahnya.
Anda penggemar sastra yang pernah membaca karya-karya Habiburrahman El Shirazy, mungkin masih ingat kutipan dialog antara Anna Althafunnisa dengan Furqan Andi Hasan saat mereka sepakat membina rumah tangga. Mari kita segarkan ingatan kita dengan menyimak kutipan dialog mereka!
"Saya punya syarat yang syarat ini menjadi bagian dari sahnya akad nikah… " Kata Anna di majelis musyawarah itu. "Apa itu syaratnya?" Tanya Furqan. " … saya mau dinikah dengan syarat selama saya hidup dan saya masih bisa menunaikan kewajiban saya sebagai isteri, Mas Furqan tidak boleh menikah dengan perempuan lain!" dengan tegas Anna menjelaskan syarat yang diinginkannya. "Apa syarat-syarat itu tidak mengada-ada?" Kata Pak Andi Hasan, ayah Furqan. "Tidak. Sama sekali tidak. Para ulama sudah membahasnya panjang lebar. Dan syarat yang saya ajukan ini sah dan boleh." Jawab Anna. "Maaf saya belum pernah membaca ada ulama membolehkan syarat seperti itu." Tukas Furqan…  Gadis itu masuk ke kamarnya dan mengambil sebuah kitab. Pada halaman yang ditandainya ia membukanya dan langsung menyodorkannya pada Furqan, "Ini juz 7 dari kitab Al Mughni karya Ibnu Qudamah, silakan baca di halaman 93!" Furqan menerima kitab itu lalu membaca pada bagian yang diberi garis tipis dengan pensil oleh Anna. Saat membaca kening Furqan berkerut. Ia lalu mendesah. Ia diam sesaat. Wajahnya agak bingung.
Mari kita kaji, bahwa ternyata dalam Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, dan literaur fiqh Madzhab Hanbali yang lain, permasalahan seputar ini telah dibahas. Konteks pembahasan dalam masalah ini adalah tentang keberadaan syarat atau perjanjian dalam akad nikah. Seberapa berpengaruhkah perjanjian dalam akad nikah terhadap keabsahan nikah, dan seberapa diperhitungkannya perjanjian itu untuk ditepati. Ini bermula dari sebuah hadis shahih muttafaq alaih, bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda;
إنَّ أَحَقَّ الشُّرُوطِ أَنْ يُوَفَّى بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ
 ﴿متفق عليه﴾
Artinya: “Sesungguhnya perjanjian yang paling berhak untuk ditepati adalah perjanjian yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan.
 (HR. Bukhari dan Muslim)
Kalangan Syafi’iyyah mengarahkan hadis ini dalam masalah perjanjian-perjanjian yang tidak bertentangan dengan prinsip akad nikah. Sedangkan perjanjian untuk menikah lagi selama istri pertama masih hidup, meniadakan hak seorang lelaki untuk melakukan nikah hingga maksimal empat orang istri, yang mana hal ini adalah legal secara syara’. Dengan adanya perjanjian bahwa mempelai pria tidak boleh menikah lagi, tentunya aka nada unsur mengharamkan sesuatu yang halal. Padahal dalam sebuah hadis, Rasul bersabda;
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إلَّا شَرْطًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا
﴿رواه البيهقي﴾
Artinya: “Kaum muslimin harus memenuhi perjanjian diantara mereka, kecuali perjanjian yang mengharamkan sesuatu yang halal.
(HR. Baihaqi)
Sedangkan kalangan Hanabilah memandang, bahwa dalam perjanjian ini, ada kepentingan pihak mempelai wanita agar tidak dimadu, karena dengan demikian akan “merugikan” dirinya, karena cinta dan perhatian suami akan terbagi. Hal ini mirip dengan pensyaratan pihak mempelai wanita untuk menaikkan nominal atau kadar mahar. Karenanya, perjanjian semacam ini mengikat pihak suami, dan wajib untuk dipenuhi. Jika tidak, yakni jika suatu saat sang suami menikah lagi atau berpoligami, maka istri punya hak faskh, yakni mengajukan gugatan cerai pada pengadilan.
Demikianlah jika dalam akad nikah disebutkan secara eksplisit perjanjian tersebut. Nah, bagaimana jika tidak ada perjanjian secara jelas ketika akad nikah? Sejumlah ulama’ Hanabilah mewacanakan sebuah kaidah fiqh yang cukup populer, yang masih menjadi bahan kontroversi di kalangan ulama’, yakni,
الْعَادَةُ المُطَّرِدَةُ فِي نَاحِيَةِ الْبَلَدِ هَلْ تُنَزَّلُ مَنْزِلَةَ الشَّرْطِ ؟
Artinya : “Tradisi yang berlaku kontinyu di suatu daerah, apakah diposisikan sama dengan pensyaratan?
Dari kalangan Syafi’iyyah, Al-Qaffal adalah ulama’ yang populer dengan jawaban, “ya”; bahwa tradisi yang berlaku sama halnya dengan pensyaratan eksplisit (lafzhî). Sedangkan mayoritas Syafi’iyyah menyatakan “tidak”;  tradisi yang berlaku tidak bisa disetarakan dengan pensyaratan secara eksplisit.
Berpijak pada penalaran seperti Al-Qaffâl, Kalangan Hanabilah mengkaitkan kaidah ini dengan permasalahan pensyaratan dalam akad nikah. Secara spesifik, Kasysyâf al-Qinâ’ mengutip perkataan Ibnul Qayyim, “Seandainya seseorang menikah dengan seorang wanita dari sekelompok kaum yang di kalangan mereka tidak berlaku tradisi memadu istri (baca : poligami), maka tradisi ini sama halnya dengan pensyaratan untuk tidak memadu istri”.
Sehingga jika dalam sebuah komunitas masyarakat, kaum wanitanya tidak biasa dipoligami, maka jika suatu saat sang suami menikah lagi dan memadukan istri pertamanya, maka istri lama berhak mengajukan fasakh (gugatan cerai). Coba kita tengok, adakah tradisi poligami berlaku di kalangan kita? Bagaimanakah tradisi wanita-wanita di Indonesia? Maukah mereka dimadu oleh suaminya? Anda sudah tahu sendiri, bahwa jawabannya adalah “tidak”.
Meski berangkat dari pola pendekatan Hanabilah, ketentuan pernikahan di Indonesia yang berasas satu istri, telah menjadi ketetapan pemerintah. Dalam kaidah lain, dijelaskan bahwa “Hukmul imâm yarfa’ul khilâf”, kebijakan pemerintah menghapuskan kontroversi pendapat. Artinya, ketentuan inilah yang harus dipatuhi. Nah, bisa diambil kesimpulan, bahwa seorang suami tidak boleh memadu istrinya, alias haram berpoligami, kecuali jika istri pertama telah memberikan izin yang jelas.
Cantholan hukum lainnya yang menginspirasi kesimpulan ini, sebenarnya masih banyak. Diantaranya adalah bahwa secara umum, dalam berumah tangga, suami harus memperlakukan istri dengan sebaik-baiknya, mu’asyarah bil ma’rûf, sebagaimana diamanatkan dalam Al-Qur’an. Salah satu perwujudan mu’asyarah bil ma’ruf adalah jangan menyakiti pasangan, dengan menikah lagi atau memadukannya, alias berpoligami. Cukuplah kisah Sayyidah Fathimah puteri Rasulullah berikut menjadi inspirasi para suami. Diriwayatkan bahwa suatu ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib, suami dari Sayyidah Fathimah, hendak melamar puteri Abu Jahal. Mendengar berita itu, Sayyidah Fathimah mengadu pada Rasulullah, ayahnya. Bagaimana reaksi Rasulullah shallallâhu alaihi wa sallam ? Beliau bersabda, “Fathimah adalah darah dagingku, barangsiapa menyakiti dia, sama halnya menyakitiku”. Ya… istri mana yang tak sakit hatinya, jika sang suami ternyata juga mencintai wanita lain dan menikah lagi? Hmmm…. Camkanlah wahai para lelaki…. !!!

Referensi:
1. Ali bin Sulaiman Al-Mardawi, Al-Inshâf fî Ma’rifah al-Khilâf ‘alâ Madzhab al-Imâm Ahmad bin Hanbal, Beirut : Dâr Ihyâ’ Turats al-‘Arabi, 1419 H.
2. Manshur bin Yunus al-Bahûti, Kasysyâf al-Qinâ’, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.
3. Al-Fawâid al-Janiyyah

PACARAN: PROBLEMATIKA REMAJA MASA KINI



PENDAHULUAN
          Berpacaran, apakah islam melegalkan ? atau paling tidak dengan ungkapan yang lebih religius adakah pacaran islami ? jawabannya adalah : Tidak! Islam tidak melegalkan pacaran dan tidak ada istilah pacaran Islami ! Wow..! seekstrem itukah Islam? Apakah agama ini tidak memahami apa yang di rasakan anak muda ? Ekstrem.. ? hmm tergantung siapa yang menilai dan dari kaca mata apa. Agama ini sangat memahami dan mengerti apa yang dirasakan anak muda bahkan manusia pada umumnya. Justru sebaliknya, apakah anak-anak muda masa kini yang katanya gaul dan funky mengerti dan memahami agama islam yang tercinta ini, khususnya dalam masalah hubungan dan interaksi muda dan mudi.
Melihat realita pacaran yang tidak hanya perkenalan di antara lawan jenis (baca :pria dan wanita ), tetapi lebih dari itu, mulai dari yang sederhana seperti pegangan tangan, bergandengan, berduaan, pelukan , cipika-cipiki hingga yang berat seperti petting dan melakukan hubungan layaknya suami istri ( baca: zina) sangat berat bagi islam untuk melegalkan aktifitas tersebut. Apalagi menyandingkan kata pacaran dengan kata islam (pacaran islami), Karena aktivitas tersebut bertentangan dengan nilai-nilai islam mengenai hubungan (interaksi) antar pria dan wanita.

NALURI MANUSIA INGIN MENCINTA
Islam amat menyadari bahwa manusia mempunyai naluri menyukai lawan jenis. Al qur’an menegaskan :
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسآءِ وَالبَنِيْنِ وَالقَنَاطِيْرِ المُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَاْلأَنـْعَامِ وَاْلحَرْثِ...الأية
Artinya; “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini< yaltu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda-kuda pilihan, binatang- binatang (ternak), sawah ladang…”(Ali Imron; 14)
Dengan naluri itu manusia akan tergerak secara alamiah untuk mencari pasangannya masing-masing. Hal ini sudah menjadi ketetepan Allah bahkan termasuk salah satu dari sekian banyak tanda- tanda kekuasaan-Nya dalam al qur’an di sebutkan
وَمِنْ آ يَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ  مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ...الأية
          Artnya; “Dan diantar tanda-tanda kekuasammya ialah: Dia menciptakan untkmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadkannya diantaramu rasa kasih dan sayang….” (al Ruum; 21)
Sedangkan dalam ayat ini Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan adalah agar terbentuk sebuah tatanan hidup yang sakinah diantara mereka, tenang, tentram, damai dan sejahtera dalam mengarungi kehidupan hidup ini.
          Untuk merealisasikan tujuan agung tersebut Tuhan mensyari’atkan (memberlakukan) sebuah ikakatan suci, janji setia untuk mencintai sehidup semati, yaitu apa yang disebut dengan Nikah. Bahkan akan bernilai ibadah siapa yang melakukannya karena Allah SWT. begitu agung dan sakkralnya pernikahan sehingga jauh-jauh sebelumnya seseorang harus mempersiapkannya, bukan dengan materi, tapi dengan kesucian diri, memelihara kehormatan, menjaga kemaluannya,

ISLAM MENJUNJUNG TINGGI KEHORMATAN
Islam sangat menjunjung tinggi kehormatan dan kesucian diri manusia, terutama kaum hawa bahkan hal ini termasuk dari prinsip ajaran islam atau yang popular dengan istilah Ad-dhoruriyyah Al-khomsi yaitu: Hifdzu Ad-din, Hifdzu Al-Aqli, Hifdzu An-nasab, Hifdzu al-Mal, dan Hifdzu al-‘irdli. Oleh karenanya terkait dengan hal itu dalam islam memiliki aturan-aturan yang menurut sebagian orang terasa menyempitkan dan membatasi bahkan Diskriminatif. Tentulah anggapan-anggapan ini sangatlah keliru, karena tuhan tidak menghendaki kesulitan bagi hamba-hambanya dalm menjalankan kewajiban-kewajiban agama: Firman Allah SWT:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
          Artinya :”Allah tidak menjadikan bagi kalian kesulitan dalam beragama”.

MENJAGA KESUCIAN DIRI
Demi mewujudkan kesucian diri dan kehormatan, langkah awal yang ditempuh agama ini adalah mewajibkan pemeluknya untuk menahan pandangan. Firman Allah:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ  يَقُضُّوْا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ  إِنَّ  اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا يَصْنَعُوْنَ , وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ  يَقْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفََظْنَ   فُرُوْجَهُنَّ
          Artinya: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman hendaklah mereka menahan pandanganya dan memelihara kemahara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat! Katakanlah kepada mereka yang beriman hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka”. (An-Nur 30-31).
          Maksudnya adalah menahan pandangan dari hal-hal yang yang diharamkan (lawan jenis) dan menjaga kemaluannya dari Zina dan onani. Memang pandangan mata amatlah berbahaya dampaknya, baik bagi yang bersangkukan atau obyek yang dilihatnya.Karena semua yang di ingini oleh nafsu prosesnya melalui mata lalu turun ke hati. Maka wajar saja jika mata dijadikan oleh iblis sebagai alat ampuh untuk menyesatkan manusia kejurang penuh dosa. Nabi bersabda:
اَنْ نَظْرَةُ سَهْمٌ مَسْمُوْمٌ مِنْ سِهَامٍ إِبْلِيْسَ
Artinya” : pandangan mata adalah anak panah beracun dari anak panah iblis”. (H.R : Ahmad)
          Dari sini islam mengharamkan seseorang memandang lawan jenisnya kecuali pandangan yang terjadi secara tiba-tiba, artinya pandangan pertama yang terjadi tanpa ada unsur kesenganjaan dari pelakunya. Tetapi bila ia memandang lagi untuk kedua kalinya untuk dengan sengaja berdosalah ia: Nabi telah bersabda kepad Sayyidina Ali r.a:

يَا عَلِيُّ لاَ تُـتْبِعِ  النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ اْلأُ وْليَ وَلَيْسَتْ لَكَ  الثَّانِيَةُ
          Artinya: “Hai Ali janganlah engkau mengikutkan pandangan pertama dengan pandangan berikutnya, karena sesungguhnya pandangan yang diperbolehkan bagimu hanyalah yang pertama, sedang yang kedua tidak boleh bagimu”. (H.R: Abu Dawud, Ad-darimyi dan Ahmad).
         
Melihat keyataan ini, berat rasanya islam menerima aktifitas pacaran, apalagi kendalanya tidak hanya pada pandangan mata antara lawan jenis, masih banyak sisi lain dari aktifitas pacaran yang dilarang keras oleh islam seperti: bersentuhan tangan dan berduaan, padahal kedua aktifitas ini adalah hal yang sangat sederhana yang terjadi dalam berpacaran. Nabi bersabda:
لَـأَنْ  يُُطْعََنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ  بِمَخِيْطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمُسَّ  إِمْرَآءًة لاَ تَحِلُّ لَهُ
          Artinya” : Tertusuknya kepala dengan jarum dari besi itu lebih baik dari pada menyentuh wanita yang tidak halal bagimu”. (H. R: Ma’qil Bin Yasar).
         
Tentang hukum berduaan dengan lawan jenis Rasulallah SAW mengingetkan dalam sabdanya yang artinya: “Hati-hatilah kamu untuk berduaan dengan seorang wanita. Demi tuhan tidak ada seorang lelakipun yang beduaan dengan seorang wanita melainkan syaitan menjadi yang ketiga. Demi Allah seandainya seseorang lelaki berdesakan dengan babi yang berlumuran hitam yang busuk adalah lebih baik baginya daripada ia berdesakan dengan wanita yang tidak halal baginya.”
         
Jika untuk hal yang sederhana saja yang ada dalam aktifitas pacaran (saling menyentuh dan berduaan) islam melarang keras, bagaimana dengan aktifitas lain yang ada dalam pacaran seperti: ciuman, saling meraba bahkan tidak jarang yang sampai kebablasan.
         
KESIMPULAN:
Dari sini bisa difahami mengapa islam sangat anti terhadap pacaran, karena ia merupakan pintu bagi perbuatan hina dan terkutuk yaitu zina yang merupakan dosa besar, untuk itu Tuhan melarang bentuk aktifitas yang bisa menggiring seseorang melakukan perbuatan nista tersebut. Yang dilarang bukan hanya berzina tapi juga perrbuatan-perbuatan yang mendekatinya. Allah berfirman:
وَلاَ تَقـْرَبُوا الزِّنَا إنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً
          Artinya” : "Dan janganlah kalian mendekati zina, sesunggunya zina itu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (al- Isro’ ; 32)
Nah, sekarang tinggal kita dengan segenap pengetahuan dan akal yang di anugerahkan-Nya harus memilih: “pacaran atau menjaga kesucian…..?”
                                   
                          WAALAHU A'LAM BISSHOWAB